Friday, April 12, 2013

Dokter Membedah Berita, "Kualitas Dokter di Sulut di pertanyakan"

Sebuah berita di Koran ternama di Sulut baru-baru ini membuat para dokter berang, apa pasalnya? Sebab meskipun Wartawan juga manusia, dan bisa melakukan kesalahan, tapi melihat berita yang terkesan seperti tugas karangan anak SD tentu saja menghantui para dokter yang membacanya. Dengan demikian berdasarkan insting seorang dokter yang harus menganalisa sesuatu secara lebih mendalam, maka saya tertarik untuk membedah berita (sebenarnya tidak terlalu cocok di sebut berita tetapi karangan)

MANADO-Ada ungkapan 'Dokter juga manusia'. Artinya, sebagai manusia, wajar dong kalau dokter melakukan kesalahan. Ungkapan itu memang benar. Tapi bila melihat seringnya dokter salah atau tak mampu diagnosis pasien, tentu menghantui masyarakat. 

Pernyataan pembuka ini (yang di garis bawahi) adalah pernyataan yang sah dan dapat di terima, dan dapat di anggap sah apabila dapat di buktikan secara jelas, bukan mengada-ada bahwa itu benar terjadi. Yang ingin saya soroti pertama ialah

-seringnya dokter salah atau tak mampu diagnosis pasien-
pernyataan ini harus benar-benar dibuktikan dengan baik oleh penulis berita, maksud saya karangan, karena mengandung tuduhan yang langsung terhadap profesi yang eksis di masyarakat. Adanya ketidakmampuan dokter mendiagnosis, atau salah mendiagnosis pasien benar terjadi di dalam praktek kedokteran, makanya di berlakukan sistim konsul dan sistim rujukan. Tetapi dengan kata Sering yang dituliskan oleh penulis berita, maksud saya karangan, di atas berarti beliau mengklaim bahwa sebagian besar penanganan pasien di Sulawesi Utara terjadi kesalahan diagnosis ataupun ketidakmampuan diagnosis.
Sekarang mari kita melihat beberapa bukti yang disampaikan oleh penulis berita, maksud saya karangan, di atas

Di Sulut misalnya, banyak kasus salah atau tak bisa mendiagnosis pasien yang berujung pada kematian.  (pertanyaan saya, data yang digunakan untuk membuat penyataan ini adalah? tanpa data yang jelas, pernyataan ini berarti tuduhan sepihak terhadap komunitas dokter di SULUT) Investigasi Manado Post saat membawa atau membesuk keluarga/teman di RSU Prof RD Kandou dan rumah sakit lainnya di Manado, diagnosa dokter hanya seputar beberapa penyakit klasik (demam berdarah, gejala tifus, maag, ispa, rematik, dan hipertensi). Berbagai obat pun diberikan. Well, i am wondering, apakah penulis yang mengatasnamakan salah satu media terkemuka di SULUT ini mengerti apa arti kata investigasi, ataukah arti kata investigasi menurut dia adalah bertanya kepada keluarga pasien yang saudaranya di rawat di rumah sakit. Diagnosa dokter hanya seputar penyakit klasik, bla bla bla, ini pasti buah pikiran yang dipikirkan di depan komputer, sebab tidak ada yang namanya diagnosa gejala tifus, atau ispa dan di rawat di rumah sakit, sedangkan penyakit klasik lain yang disampaikan oleh si penulis berita, maksud saya karangan adalah penyakit-penyakit yang bisa mengakibatkan pasien mengalami gangguan fungsi atau pun bisa mengancam jiwa sehingga di rawat di RS.
Jika sudah dua minggu lebih di rumah sakit dan tidak sembuh (sebaliknya kondisi pasien makin parah), diagnosa terakhir dokter tidak lari dari virus. Berbagai obat virus pun diberikan. Memasuki satu bulan tidak ada perubahan, alasan terakhir dokter, pasien terkena virus baru yang belum terdeteksi. Alasan itu sering didengar wartawan koran ini. 

Tidak tahukah penulis, ya, saya pastikan dia tidak tahu, bahwa kebanyakan penyakit virus adalah penyakit yang sembuh sendiri dan biasanya di bawah 2 minggu. Kalaupun ada yang bertahan di atas itu berarti Virus yang di maksud bukanlah virus kebanyakan dan memang harus di rawat di rumah sakit. Pernyataan yang menarik adalah alasan itu sering di dengar wartawan koran ini, yang ingin saya tanyakan, seberapa sering saudara "wartawan koran itu" mendengar alasan itu? Ataukah memang kita bisa menulis berita dari opini yang di buat seolah-olah hal itu benar. Kalaupun memang ada yang menggunakan alasan itu, sebaiknya "saudara wartawan koran itu" menulis dengan jelas siapa yang memberikan alsan, ataupun minimal di ruang perawatan mana?

Jika sudah sebulan lebih di rumah sakit, dipastikan keluarga sudah menghabiskan puluhan bahkan bisa ratusan juta rupiah. Tergantung keluarga pasien. Kalau pasien dan keluarganya menunjukkan orang kaya, datang dengan mobil sendiri, pakai perhiasan mahal, pakaian mahal, dan penampilan bagus. 
Ketika mengisi formulir saat pendaftaran pasien juga, ada daftar isian yang menentukan status pasien dan keluarganya. Misalnya pekerjaan apa, menggunakan jaminan kesehatan apa, dan apalagi jika memilih kamar rawat inap VIP. Ini akan menjadi ‘mangsa’ dokter, pihak rumah sakit, termasuk distributor obat yang ikut terkena imbasnya. ‘’Fenomenanya di rumah sakit memang seperti itu pak,’’ ujar beberapa perawat kepada Manado Post dan memohon nama mereka tidak ditulis di koran. 


Sebaiknya penulis berita, maskud saya karangan, benar-benar melakukan investigasi tentang apa yang di tulisnya, Di ruang rawat darurat, dokter tidak pernah menyambut pasien di depan pintu gerbang, bagaimana mungkin tahu apakah dia datang dengan mobil sendiri, ataukah tahu darimana itu bukan mobil pinjaman, kemudian soal mengisi status pasien, apakah menurut pendapat anda pihak rumah sakit hanya perlu tahu saja nama pasien, umur dan jenis kelamin? Tidak perlu tahu ada jaminan sosial, atau apa pekerjaan pasien, dan apakah memang pikiran anda sepicik itu untuk melihat data pasien tersebut semata-mata untuk melihat siapa yang bisa di kuras dan tidak bisa di kuras? 
Kemudian soal pasien yang masuk VIP dan dapat obat mahal, saudaraku, pasien yang masuk ruang VIP berhak juga meminta obat generik kepada dokter yang merawat, dan sepanjang saya bertugas di RS saat pendidikan maupun di klinik rawat nginap saat menyandang profesi ini, sangat jarang, bahkan tidak pernah sekalipun seorang pasien masuk ruang VIP dan minta obat generik. (jika pernyataan ini tidak bisa dipercaya, berarti anda juga tidak perlu mempercayai hampir seluruh pernyataan yang di tulis dengan huruf merah, karena semua itu juga hanya di klaim berdasarkan pengalaman). Menurut hemat saya adalah wajar seorang pasien VIP mendapat obat-obatan yang mahal, kalaupun memang kemahalan, bisa minta ganti obat lebih murah, bahkan obat generik sekalipun. Dan silahkan investigasi ke ruang perawatan VIP, apakah masih ada pasien disana yang mau menggunakan obat-obatan seharga kacang goreng, yang meskipun khasiatnya sama, tetapi secara psikologis tidak dipercaya oleh mereka.

Hal menarik diungkapkan beberapa orang yang keluarganya meninggal setelah berbulan-bulan dirawat di rumah sakit.  Yaitu ketika keluarga sudah habis puluhan bahkan ratusan juta rupiah, tetapi kondisi pasien terus memburuk, akhirnya keluarga mulai menyalahkan orang lain.Terutama orang yang pernah terlibat selisih paham dengan pasien. Atau teman kerja yang menganggap ada persaingan jabatan dan persaingan bisnis. Di saat-saat seperti itu tak jarang muncul kalimat, ‘’Orang ada beking, orang ada doti, orang ada santet, orang ada kirim, tainjak talibagu, dan alasan lain yang di luar akal sehat.’’ ‘
’Kendati ini akibat tidak profesionalnya mereka yang menjalankan profesi untuk menemukan penyakit seseorang dan menyembuhkannya. Seperti pengalaman yang menimpa ayah saya,’’ ujar seorang bapak berusia 36 tahun yang meminta namanya tidak dikorankan.
Tidak ada RS manapun yang mengklaim bahwa jika di rawat disini pasti sembuh. Kecuali bebrapa klinik yang anda lihat di TV yang bisa menyembuhkan segala jenis penyakit tanpa operasi, dan banyak testimoni orang yang berobat dan pasti sembuh, dan tidak ada testimoni kalau ada yang tidak sembuh. Well, saya juga menyadari bahwa ada pasien yang meninggal karena memang tidak dapat didiagnosis, atau ada juga kasus malpraktik, tetapi harus dibuktikan di pengadilan, tetapi berharap bahwa keluarga kita yang sakit akan sembuh adalah harapan semua orang, tapi sayang sekali RS tidak selalu bisa menjawab harapan itu. Banyak pernyataan keluarga pasien, "terima kasih dokter sudah berusaha" yang sayang sekali tidak pernah di dengar oleh penulis berita, maksud saya karangan di atas, yang setiap harinya terdengar di RSUP maupun di RS dan klinik lainnya di SULUT. Tapi pernyataan seperti itu memang tidak layak diberitakan, cukuplah menjadi penguat semangat setiap insan dokter Indonesia, termasuk SULUT.

Kasus-kasus seperti ini banyak menimpa warga Sulut. Karena itu Rumah Sakit Umum (RSU) Prof dr RD Kandou Manado yang mendapat sorotan. Rumah sakit tersebut yang disorot warga, karena umumnya pasien di rumah sakit-rumah sakit lain di daerah ini, dirujuk ke rumah sakit itu. 
Terutama terkait kualitas pelayanan kesehatan oleh tim medisnya, terlebih khusus dokter-dokter sebagai penanggung jawab setiap pasien. Kemampuan dalam menegakkan diagnosa oleh dokter untuk kelanjutan pengobatan pasien, dianggap masih kurang dari harapan masyarakat. 
Ada bahkan pasien yang mengeluh karena dianggap sering menjadi “kelinci percobaan” oleh dokter yang sering bergonta-ganti argumen tentang anamnesa yang dilakukan dan tidak tegas menentukan diagnosa. Sampai-sampai ada yang menganggap masuk ke rumah sakit (RS) ini seperti membawa nyawa untuk dijemput ajal, karena banyak yang datang masih bernyawa pulang tinggal nama.

Kelinci percobaan karena dokter saling berargumen tentang anamnesa, menari sekali. Berarti penulis ingin bahwa tim medis di ruang perawatan akan bekerja sendiri-sendiri tanpa perlu saling berkomunikasi dan menyampaikan pendapatnya tentang penyakit yang di derita oleh pasien. Saya malas membahas penyataan tanpa dasar ini, dan juga menurut orang-orang yang namanya tidak mau dikorankan, mungkin pernyataan itu tidak intelek. Kalau soal datang bernyawa, dan pulang tidak bernyawa, tanpa bermaksud melukai perasaan orang-orang yang keluarganya meninggal di Rumah Sakit, tetapi itulah Rumah Sakit, ada orang yang pulang sembuh, ada yang pulang tetap sakit dan meninggal di rumah beberapsa saat kemudian (seperti ayah saya), dan ada juga yang meninggal di rumah sakit. Dan sangatlah tidak rasional menyalahkan dokter dan petugas medis apabila ada orang yang pulang dengan keadaan sakit ataupun meninggal dunia. Meskipun saya juga tidak menampik kemungkinan malpraktik, yang sekali lagi saya anjurkan untuk segera melaporkan kepada yang berwajib jika anda memang menduga ada kejadian seperti ini.
Salah satu keluarga pasien yang enggan namanya dikorankan menyampaikan, anggota keluarganya awal masuk ke UGD kemudian disarankan dirawat inap. Beberapa minggu ditangani dokter di ruang Anggrek, keadaannya makin memburuk. Dokter belum menemukan penyakitnya. 
Kendati obat yang diminum sudah banyak. Bahkan belum habis, sudah diberikan lagi resep lain. Keluarga pasien pun mengamuk di ruang VIP tersebut. ‘’Kita marah-marah itu dokter dengan perawat. Pasien soamper satu bulan di rumah sakit, dokter ndatahu penyakitnya,’’ keluh   seorang ibu yang keluarganya baru saja meninggal. 
Karena dokternya ketakutan,  mengusulkan pasien tersebut dipindah rawat di ruang Irina B. Pasien tak kunjung membaik. Setelah beberapa minggu dirawat, akhirnya anggota keluarganya tersebut meninggal dunia. Namun, hingga jenazahnya dibawa pulang, dokter tak mampu memberikan diagnosa penyakitnya dengan pasti,” tegas keluarga pasien tersebut dengan nada emosi.
Ada juga masyarakat yang pernah berobat di RSU Prof Kandou dengan harapan memperoleh kesembuhan. Awal diperiksa, dokter mengatakan pasien tersebut menderita ambeien. “Setahun mengonsumsi obat sesuai diagnosa dokter tersebut tapi tak ada perubahan. 
Dokter lantas merubah diagnosanya menjadi penyakit fistula perianal,” kata pasien tersebut dengan raut bingung dan kesal terhadap sikap dokter itu. Selain itu, ada keluarga pasien yang mengeluh karena di saat anggota keluarganya sedang gawat, dokter yang merawatnya tidak bisa dihubungi sehingga hanya dirawat oleh dokter jaga.
 ‘’Ayah saya kejang-kejang jam 7 malam. Perawat bilang, tunggujo dokter nanti datang baperiksa esok pagi. Kendati setelah dicek, dokternya sibuk melayani pasien di tempat prakteknya,’’ keluh keluarga pasien yang ayahnya telah meninggal. 
Menjadi pertanyaan bagi masyarakat umum, sejauh mana kualitas pelayanan dokter di RSU Prof Kandou Manado hingga saat ini? Apakah hal ini imbas kesalahan dari sistem seleksi calon mahasiswa kedokteran, sistem perekrutan awal dokter, atau sistem kerja yang kurang profesional. Kemudian, apakah kebutuhan dokter dan alat medis dari luar negeri menjadi kebutuhan yang sangat mendesak bagi Sulawesi Utara.    


Semua hal yang tertulis di atas ini, sebenarnya menarik untuk diperbincangkan, tetapi hal ini tidaklah akan membuktikan pernyataan atau tuduhan yang di tulis oleh penulis berita, maksud saya karangan ini. Karena tidak jelas apakah peristiwa ini benar2 terjadi ataukah hanya sebatas khayalan penulis profesional. Karena dokternya ketakutan, sehingga mengusulkan pindah ke B, memangnya hal seperti ini boleh, anda pikir supervisor akan seenaknya mengiakan pasien pindah karena dokter jaga ruangan ketakutan, HaHAHAHAhahahaah, Investigasi anda berarti masih kelas kerupuk (emang ada istilah kelas kerupuk? anggaplah ciptaan dari orang yang tidak mau namanya di korankan, yang artinya argumen yang ada tidak dapat dipertahankan dan mudah sekali dipatahkan seperti mematahkan kerupuk).
   
Manajemen RSU Prof Kandou Manado melalui Kepala Sub Bagian (Kasubbag) hukum, organisasi, dan hubungan masyarakat (Hukormas) Meike Dondokambey SH mengatakan, kinerja seluruh stakeholder RS sudah sangat baik.

 “Direktur Utama (Dirut) dr Djolly Rumopa SpOG sangat tegas dalam memberikan pengarahan dan pembinaan bagi karyawan untuk bekerja sesuai Standar  Operasional Prosedur (SOP) pelayanan kesehatan bagi masyarakat Sulut,” kata Dondokambey, Kamis (11/4) kemarin di ruang kerjanya. 
Mengenai dokter yang berpraktek di RS ini Dondokambey menjelaskan, penerimaan tenaga medis tentunya melihat kualitas terbaik. Begitupun bagi dokter residen yang akan berpraktek di sini harus mengikuti tes awal yang benar-benar ketat. “Selain daerah Sulut, dokter residen yang berpraktek di sini juga berasal dari daerah lain di Indonesia,” jelas Dondokambey.
Dirinya pun membantah jika pasien yang dirawat menjadi “kelinci percobaan” karena setiap dokter tetap melakukan pekerjaannya untuk kesembuhan pasien. “Profesi dokter pun sering diperhadapkan dengan keadaan dimana jika pasien tersebut dilakukan penanganan akan salah, apalagi tidak dilakukan penanganan yang berakibat fatal bagi pasien tersebut,” ujarnya.
Ditambahkannya, sesuai aturan juga untuk diagnosa penyakit yang berhak mengetahui hanya dokter, pasien dan keluarga, serta tim medis yang menangani pasien tersebut. “Hingga kini, komunikasi oleh dokter terhadap pasien dan keluarga untuk persetujuan tindakan (informed content) tetap menjadi hal pokok sebelum diadakan penanganan lanjutan setelah mendapatkan pertolongan di UGD,” katanya. (ctr-09)  
Sayang sekali bagian yang paling dapat dipertanggungjawabkan dalam berita, maksud saya karangan di atas, adalah bagian yang paling tidak akan diperhatikan dan tidak akan dipercaya oleh pembaca, karena opini telah dibentuk melalui gaya penulisan penulis di atas. Sebab hanya bagian ini yang bisa ditelusuri benar tidaknya, karena kita bisa langsung bertanya kepada mereka yang memberikan pernyataan di atas.

Artikel ini mungkin saya tulis sebagai pembelaan diri saya sebagai salah satu yang di tuduh dalam tulisan, maksud saya karangan di atas. Karena saya Dokter, saya tinggal di SULUT. Sedangkan Tuduhan yang dialamatkan kepada kami "dokter di sulut" sangatlah tidak berdasar, dan tanpa bukti yang jelas. Saya akan sangat respek jika suatu saat MP sebagai media cetak terbesar di sulut benar-benar melakukan investigasi, bukan hanya pendapat 1 orang wartawan dan mencetaknya. Kejadian-kejadian di atas mungkin saja terjadi, dan mungkin juga tidak, mungkin juga dilebih-lebihkan belum ada yang tahu kepastiannya sampai ada bukti investigasi yang lebih jelas, bukan katanya, dan katanya, dan kata orang yang tidak mau disebutkan kalau dia orang.

Kemungkinan malpraktik, misdiagnosis, underdiagnosis, overdiagnosis, mistreeatment selalu ada dalam dunia kedokteran, tetapi pernyataan di atas seolah-olah menggambarkan bahwa sebagian besar dokter di sulut tidak melakukan tugasnya dengan profesional. 
Maju terus dokter Indonesia, Tetaplah profesional, dan buktikan kalau pernyataan dari karangan di atas itu salah. Dan seandainya saya menganalogikan apa yang dilakukan penulis dengan profesi kedokteran, Penulis telah melakukan kesalahan diagnosis yang terburu-buru tanpa menganalisa dengan baik gejala, tanda, dan pemeriksaan penunjang yang ada.

Blessing

6 comments:

  1. mantap andre... buat wartawan penulis karangan ini di tunggu di ugd RD Kandou. silahkan investigasi yg benar... jgn cuman gosip doang... siapa tau ada yg putus jari d rs kandou... bisa ikut ngetrend sama dgn koran d jakarta....

    ReplyDelete
  2. plok..plok...plok...!!!

    ReplyDelete
  3. sayangnya "berita bedah editorial' begini nda jadi konsumsi semua orang sehingga opini publik tetap seperti 11 paragraph pertama...

    ReplyDelete
  4. bukang main manado post,,, 1 tahun 3 kali lulusan dokter ba iklan 1 halaman habis puluhan juta... kong dibalas dengan fitnah,,,,

    pindah koran joh,, mulai pelantikan berikut,, tribun jo...

    ReplyDelete
  5. Sayang memang kalo berita 'bagus' begini di tulis dengan gaya karangan, tambahleh generalisasi nda jelas...
    @roy yang penting jang amputasi pake gunting :p
    @penatua tepuk tangan ato se ba bunyi mulu? Hehehe
    @iant sayang memang, setidaknya ada
    @anonym ato berikut pos di fb dgn twitter jo, hhehe mar jang tulis, katanya akan di lantik...

    ReplyDelete
  6. Langsung Ke mnado Post joo para dokter..
    konsumen pux Hak minta klarifikasi soal artikel, klo nda trbuti Manado Post bz kena sanksi + denda krn menjatuhkan martabat seorng dokter..

    ReplyDelete